
Mulai dari Undang-Undang nomor 5 tahun 1967
tentang Pokok Kehutanan (UUPK) yang kemudian digantikan oleh Undang-Undang
nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan (UUK) hingga Peraturan Menteri Kehutanan
nomor P.49/ Menhut-II/ 2011 tentang Rencana Kehutanan Tingkat Nasional (RKTN)
tahun 2011-2030. Jika coba dianalisis dengan seksama, kebijakan yang tertuang
dalam peraturan perundangan tersebut mengenai hutan adat seperti melakukan
pelemahan terhadap status dan keberadaan hutan adat di Indonesia. Tulisan ini
mencoba menganalisis kebijakan kehutanan yang terkait dengan hutan adat
khususnya yang terdapat dalam Undang-Undang Pokok Kehutanan, Undang-undang
Kehutanan, dan Rencana Kehutanan Tingkat Nasional Tahun 2011-2030. Posisi hutan
adat yang sejak awal jelas memberikan kontribusi terhadap kelestarian serta
kesejahteraan masyarakat dapat terlihat eksistensinya apakah semakin kuat atau
justru semakin melemah dibandingkan dengan pengelolaan hutan skala besar dalam
kebijakan kehutanan Indonesia.
BAHAN Bahan yang digunakan sebagai acuan dan
dikritisi adalah :
1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 Tentang Pokok
Kehutanan
2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang
Kehutanan
3. Peraturan Menteri Kehutanan Indonesia Nomor P.
49/ Menhut-II/ 2011 Tentang Rencana Kehutanan Tingkat Nasional Tahun 2011-2030
PEMBAHASAN
1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 Tentang Pokok
Kehutanan
Pasal-Pasal yang Terkait dengan Hutan Adat :
1.1 Penjelasan Umum “…..Di dalam pasal 2
dipergunakan istilah “Hutan Negara”, untuk menyebut semua hutan yang bukan
“Hutan Milik”. Dengan demikian maka pengertian ,Hutan Negara” itu mencakup pula
hutan-hutan yang baik berdasarkan Peraturan Perundangan maupun Hukum Adat
dikuasai oleh Masyarakat Hukum Adat. Penguasaan Masyarakat Hukum Adat atas
tanah tertentu yang didasarkan pada Hukum Adat, yang lazimnya disebut hak
ulajat diakui di dalam Undang-undang Pokok Agraria, tetapi sepanjang menurut
kenyataannya memang masih ada. Di daerah-daerah di mana menurut kenyataannya
hak ulajat itu sudah tidak ada lagi (atau tidak pernah ada) tidaklah akan
dihidupkan kembali. Menurut perkembangannya hak ulajat itu karena pengaruh
berbagai faktor menunjukkan kecenderungan untuk bertambah lama bertambah
menjadi lemah. Selain pembatasan tersebut di atas, pelaksanaan hak ulajat itu
pun harus sedemikian rupa, hingga sesuai dengan kepentingan nasional serta
tidak boleh bertetangan dengan Peraturan Perundangan yang lebih tinggi.
Berhubung dengan itu maka dimasukkannya hutan-hutan yang dikuasai oleh
Masyarakat Hukum Adat tersebut ke dalam pengertian “Hutan Negara”, tidaklah
meniadakan hak-hak Masyarakat Hukum Adat yang bersangkutan serta
anggota-anggotanya untuk mendapatkan manfaat dari hutan-hutan itu, sepanjang
hak-hak itu menurut kenyataannya memang masih ada dan pelaksanaannyapun harus
sedemikian rupa, sehingga tidak mengganggu tercapainya tujuan-tujuan yang
dicantumkan dalam Undang-Undang ini dan peraturan pelaksanaannya. Hal ini
ditegaskan pula di dalampasal 17….. “ Bahasan: Dalam penjelasan tersebut,
secara jelas UUPK mencoba melemahkan status hutan adat dengan memasukkan hutan
adat ke dalam bagian hutan negara. Hal ini diperkuat dengan pernyataan
selanjutnya yang meyakini bahwa hak ulayat, karena pengaruh berbagai faktor
menunjukkan kecenderungan melemah, pernyataan ini jelas menunjukkan lemahnya
status dan pengakuan terhadap hutan adat sebagai bentuk pengelolaan hutan oleh
rakyat yang dapat berkelanjutan. Negara memandang, masyarakat adat sebagai
masyarakat tradisional/tertinggal belum memiliki keahlian dalam pengelolaan
hutan yang baik sehingga negara terkesan meragukan pengelolaan hutan oleh
masyarakat adat dalam hal ini hutan adat. Kondisi saat itu justru pengelolaan
hutan skala besar (HTI, HPH, dan lain-lain) diberikan akses seluas-luasnya
untuk mengelola hutan sedangkan akses untuk masyarakat adat lebih dipersempit
dengan memasukkan hutan adat dalam kendali negara penuh. Padahal dari berbagai
riset menunjukkan pengelolaan hutan oleh masyarakat adat lebih
lestari(sustainable) dibanding dengan pengelolaan hutan skala besar, ini
dikarenakan ketergantungan masyarakat dengan hutan sangat tinggi,
keberlangsungan masyarakat sangat dipengaruhi oleh keberadaan hutan sehingga
masyarakat dengan baik menjaga hutannya, sedangkan pengusaha hutan skala besar
lebih cenderung tergantung dengan cost/keuntungan secara ekonomi sehingga
faktor lingkungan dan keberadaan hutan kurang diperhatikan (proporsinya lebih
sedikit dibanding faktor ekonomi). 2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang
Kehutanan Pasal-Pasal yang Terkait dengan Hutan Adat : 2.1 Pasal 1 ayat 6
“Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum
adat.” Bahasan: Setelah Undang-Undang Pokok Kehutanan diganti dengan
Undang-Undang Kehutanan, ternyata semangat pelemahan hutan adat tidaklah terhapuskan.
Hal ini terlihat pada pasal diatas yang masih memasukkan hutan adat sebagai
bagian dari hutan negara. Lebih jelas lagi disebutkan bahwa hutan negara yang
berada dalam wilayah masyarakat hukum adat, dalam kalimat tersebut berarti
dapat diartikan bahwa negaralah yang menyerobot wilayah masyarakat hukum adat
bukan seperti yang sekarang terdengung bahwa masyarakat hukum adat
menyerobot/merambah kawasan hutan negara. Lagipula secara sejarah juga dapat
kita ketahui, keberadaan masyarakat hukum adat itu lebih dulu dibanding
keberadaan negara. 2.2 Pasal 5 “ (1) Hutan berdasarkan statusnya terdiri dari:
a. hutan negara, dan b. hutan hak. (2) Hutan negara sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a, dapat berupa hutan adat. (3) Pemerintah menetapkan status hutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2); dan hutan adat ditetapkan
sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih
ada dan diakui keberadaannya. (4) Apabila dalam perkembangannya masyarakat
hukum adat yang bersangkutan tidak ada lagi, maka hak pengelolaan hutan adat
kembali kepada Pemerintah.” Bahasan: Pada Pasal diatas juga terlihat jelas
bentuk pelemahan status hutan adat dengan menyebut sepanjang kenyataannya
masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya,
sangat jelas bahwa secara tidak langsung negara tidak mempercayai eksistensi
masyarakat adat yang dianggapnya masyarakat adat ini tidak akan dapat
beradaptasi sehingga lama kelamaan akan hilang/tiada dan tidak diakui.
Dilanjutkan lagi berikutnya, hutan adat ini dianggap oleh negara hampir seperti
kegiatan pinjam pakai kawasan hutan yang apabila telah selesai pemakaiannya
akan kembali kepada negara yang seolah-olah akhirnya masyarakat ini harus
memohon izin dulu ketika akan memanfaatkan hutannya kepada negara sebagai
“pemilik” baru. Dalam konteks ini, siapa pemerintah itupun tidak jelas gamblang
disebutkan dalam Undang-Undang ini. 2.3 Pasal 67 (1) Masyarakat hukum adat
sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berhak: a.
melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari
masyarakat adat yang bersangkutan; b. melakukan kegiatan pengelolaan hutan
berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan
undang-undang; dan c. mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan
kesejahteraannya. (2) Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah. (3)
Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
dengan Peraturan Pemerintah. Bahasan: Cukup miris lagi pada pasal ini,
ketidakjelasan sangat tampak sebagai bentuk pelemahan hutan adat. Saat
disebutkan bahwa pengakuan masyarakat adat oleh negara tidak cukup de facto
tapi juga de jure ternyata yang sebelumnya disebutkan pengakuan de jure itu
oleh pemerintah daerah ternyata pada ayat selanjutnya disebutkan bahwa lebih
lanjutnya diatur oleh peraturan pemerintah, sehingga pengakuan ini menjadi
tidak mutlak oleh peraturan daerah. Lebih parahnya lagi, sampai saat ini
peraturan pemerintah tentang hutan adat belum juga ada, baru sebatas rancangan
saja. Ini jelas pelemahan kepada hutan adat sangat nampak pada Undang-Undang
Kehutanan. 3. Peraturan Menteri Kehutanan Indonesia Nomor P. 49/ Menhut-II/
2011 Tentang Rencana Kehutanan Tingkat Nasional Tahun 2011-2030 Bagian yang
dikritisi : 3.1 Bab 4 Bagian 4.4. Kawasan untuk Pengusahaan Hutan Skala Besar
dan Skala Kecil “Dari hasil analisis spasial dan skenario rasionalisasi kawasan
hutan, sampai dengan tahun 2030 terdapat lebih kurang 43,6 juta hektar
dialokasikan untuk pengusahaan hutan skala besar (IUPHHK-HA/HT/RE) dan 5,6 juta
hektar untuk pengusahaan skala kecil (HTR,HKm dan HD). Dari luasan tersebut,
sampai dengan awal tahun 2011, kawasan hutan yang telah diberikan izin
pemanfaatan untuk pengusahaan skala besar yaitu seluas 34,47 juta hektar dan
pengusahaan skala kecil seluas 0,67 juta hektar, sehingga masih terdapat 9,1
huta hektar kawasan yang dapat dialokasikan untuk pengusahaan skala besar dan 4,9
juta hektar untuk pengusahaan skala kecil. Bahasan: Harapan masyarakat adat
yang telah menanti sekian lama dalam “penganaktirian” untuk memperoleh
kepastian status hutan adat sebagai hutan milik masyarakat adat pupus sudah.
Munculnya P.49/Menhut-II/2011 tentang Rencana Kehutanan Tingkat Nasional Tahun
2011-2030 ternyata sama sekali tidak ada pengalokasian kawasan hutan untuk
hutan adat, hanya pengusahaan hutan skala besar (IUPHHK-HA/HT/RE) dan
pengusahaan hutan skala kecil (HTR, HKm, dan HD) saja yang mendapat
pengalokasian sedang hutan adat sama sekali tidak ada alias nihil. Hal ini
menunjukkan, hutan adat secara perlahan telah dilemahkan secara pelan-pelan
oleh peraturan perundangan/kebijakan kehutanan Indonesia. Hal penting yang
dilupakan dalam konteks ini adalah bentuk pengelolaan hutan oleh masyarakat
adat sangat arif dan lestari karena mereka mengelola hutan tersebut karena
hutan sebagai sumber penghidupan mereka jadi mau tidak mau hutan tersebut harus
ada, sedangkan pengelolaan hutan melalui pengusahaan skala besar justru lebih
merusak karena faktor ekonomi/keuntungan financial yang mereka kejar, walau
dibarengi dengan ilmu silvikulture yang baik namun tak ada rasa memiliki
terhadap hutan tersebut, apalah artinya, tetap saja akan rusak. KESIMPULAN Berdasar
analisis yang dilakukan terhadap Undang-Undang nomor 5 tahun 1967 tentang Pokok
Kehutanan (UUPK), Undang-Undang nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan (UUK) dan
Peraturan Menteri Kehutanan nomor P.49/ Menhut-II/ 2011 tentang Rencana
Kehutanan Tingkat Nasional (RKTN) tahun 2011-2030, ketiganya mengindikasikan
adanya pelemahan terhadap keberadaan hutan adat, mulai dari pemasukan hutan
adat kedalam hutan negara, keraguan negara terhadap eksistensi masyarakat adat,
pembukaan akses terhadap pengusahaan hutan skala besar dan penyulitan akses
terhadap hutan adat, perolehan pengakuan yang tidak jelas mekanismenya, hingga
tidak disinggungnya hutan adat dalam rencana kehutanan tingkat nasional tahun
2011-2030 adalah bentuk pelemahan posisi hutan adat di Indonesia. REKOMENDASI
a. Status hutan adat harus jelas dan diakui sebagai milik masyarakat adat. b.
Percepatan pengesahan Peraturan Pemerintah tentang Hutan Adat yang membela
hak-hak masyarakat adat. c. Pengalokasian kawasan untuk pengembangan hutan adat
yang terbukti lebih lestari dari pengusahaan hutan skala besar. d. Penghormatan
terhadap masyarakat adat harus ditegakkan
sumber : http://riset.sylvaindonesia.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar