Pimpinan Dan Seluruh Staf Dewan Adat Daerah Kabupaten SARMI Mengucapkan Selamat Menjalani Minggu Advent 2014, Kepada Seluruh Umat Kristiani....

Kamis, 27 November 2014

Posisi Hutan Adat Dalam Kebijakan Kehutanan Indonesia



Hutan tidak akan pernah lepas dari sosial/masyarakat, hutan merupakan sebuah konstruksi sosial. Terdapat hubungan keterkaitan antara hutan dengan masyarakat. Kesalahan dalam pengelolaan hutan salah satunya adalah karena banyak pihak yang berkecimpung dalam bidang kehutanan namun hanya memahami maksud hutan yang ingin lestari namun lupa memahami maksud masyarakat sekitar hutan yang ingin sejahtera. Rasa kepemilikan atas hutan oleh masyarakat sekitar hutan tinggi karena ketergantungan masyarakat terhadap hutan masih kuat.
Sikap kelola yang arif membuat hutan dapat tumbuh berdampingan secara lestari dengan masyarakat. Disinilah fungsi sosial yang terbangun dari masyarakat terhadap kelestarian hutan. Pengelolaan hutan oleh masyarakat, di Indonesia bukanlah hal yang asing lagi. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya kehidupan masyarakat disekitar hutan. Sering kita dengar ada masyarakat dayak, anak dalam, badui, sasak, dan lain sebagainya. Semua komunitas masyarakat tersebut sering disebut sebagai masyarakat adat. Masyarakat adat oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) didefinisikan sebagai kelompok masyarakat yang memiliki asal usul leluhur di wilayah geografis tertentu, serta memiliki nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya, dan wilayah tertentu. Masyarakat adat, pada umumnya tinggal disekitar atau didalam hutan. Mereka lebih banyak menggantungkan hidupnya dari kegiatan berburu meramu, mengelola hutan, serta bercocok tanam sehingga rasa memiliki mereka atas hutan sangat tinggi. Keberlangsungan hidup mereka sangat ditentukan dengan keberadaan hutan. Berbagai kearifan lokal mereka terapkan untuk mengelola dan menjaga kelestarian hutan yang memang menjadi satu-satunya sumber penghidupan utama bagi mereka. Hutan yang dikelola oleh masyarakat adat tersebut biasanya disebut dengan hutan adat. Keberadaan hutan adat di Indonesia, semakin berkembangnya zaman dirasa seperti semakin terpojokkan dengan keluarnya berbagai kebijakan pemerintah khususnya tentang kehutanan.
Mulai dari Undang-Undang nomor 5 tahun 1967 tentang Pokok Kehutanan (UUPK) yang kemudian digantikan oleh Undang-Undang nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan (UUK) hingga Peraturan Menteri Kehutanan nomor P.49/ Menhut-II/ 2011 tentang Rencana Kehutanan Tingkat Nasional (RKTN) tahun 2011-2030. Jika coba dianalisis dengan seksama, kebijakan yang tertuang dalam peraturan perundangan tersebut mengenai hutan adat seperti melakukan pelemahan terhadap status dan keberadaan hutan adat di Indonesia. Tulisan ini mencoba menganalisis kebijakan kehutanan yang terkait dengan hutan adat khususnya yang terdapat dalam Undang-Undang Pokok Kehutanan, Undang-undang Kehutanan, dan Rencana Kehutanan Tingkat Nasional Tahun 2011-2030. Posisi hutan adat yang sejak awal jelas memberikan kontribusi terhadap kelestarian serta kesejahteraan masyarakat dapat terlihat eksistensinya apakah semakin kuat atau justru semakin melemah dibandingkan dengan pengelolaan hutan skala besar dalam kebijakan kehutanan Indonesia.
BAHAN Bahan yang digunakan sebagai acuan dan dikritisi adalah :
1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 Tentang Pokok Kehutanan
2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan
3. Peraturan Menteri Kehutanan Indonesia Nomor P. 49/ Menhut-II/ 2011 Tentang Rencana Kehutanan Tingkat Nasional Tahun 2011-2030 PEMBAHASAN
1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 Tentang Pokok Kehutanan
Pasal-Pasal yang Terkait dengan Hutan Adat :
1.1 Penjelasan Umum “…..Di dalam pasal 2 dipergunakan istilah “Hutan Negara”, untuk menyebut semua hutan yang bukan “Hutan Milik”. Dengan demikian maka pengertian ,Hutan Negara” itu mencakup pula hutan-hutan yang baik berdasarkan Peraturan Perundangan maupun Hukum Adat dikuasai oleh Masyarakat Hukum Adat. Penguasaan Masyarakat Hukum Adat atas tanah tertentu yang didasarkan pada Hukum Adat, yang lazimnya disebut hak ulajat diakui di dalam Undang-undang Pokok Agraria, tetapi sepanjang menurut kenyataannya memang masih ada. Di daerah-daerah di mana menurut kenyataannya hak ulajat itu sudah tidak ada lagi (atau tidak pernah ada) tidaklah akan dihidupkan kembali. Menurut perkembangannya hak ulajat itu karena pengaruh berbagai faktor menunjukkan kecenderungan untuk bertambah lama bertambah menjadi lemah. Selain pembatasan tersebut di atas, pelaksanaan hak ulajat itu pun harus sedemikian rupa, hingga sesuai dengan kepentingan nasional serta tidak boleh bertetangan dengan Peraturan Perundangan yang lebih tinggi. Berhubung dengan itu maka dimasukkannya hutan-hutan yang dikuasai oleh Masyarakat Hukum Adat tersebut ke dalam pengertian “Hutan Negara”, tidaklah meniadakan hak-hak Masyarakat Hukum Adat yang bersangkutan serta anggota-anggotanya untuk mendapatkan manfaat dari hutan-hutan itu, sepanjang hak-hak itu menurut kenyataannya memang masih ada dan pelaksanaannyapun harus sedemikian rupa, sehingga tidak mengganggu tercapainya tujuan-tujuan yang dicantumkan dalam Undang-Undang ini dan peraturan pelaksanaannya. Hal ini ditegaskan pula di dalampasal 17….. “ Bahasan: Dalam penjelasan tersebut, secara jelas UUPK mencoba melemahkan status hutan adat dengan memasukkan hutan adat ke dalam bagian hutan negara. Hal ini diperkuat dengan pernyataan selanjutnya yang meyakini bahwa hak ulayat, karena pengaruh berbagai faktor menunjukkan kecenderungan melemah, pernyataan ini jelas menunjukkan lemahnya status dan pengakuan terhadap hutan adat sebagai bentuk pengelolaan hutan oleh rakyat yang dapat berkelanjutan. Negara memandang, masyarakat adat sebagai masyarakat tradisional/tertinggal belum memiliki keahlian dalam pengelolaan hutan yang baik sehingga negara terkesan meragukan pengelolaan hutan oleh masyarakat adat dalam hal ini hutan adat. Kondisi saat itu justru pengelolaan hutan skala besar (HTI, HPH, dan lain-lain) diberikan akses seluas-luasnya untuk mengelola hutan sedangkan akses untuk masyarakat adat lebih dipersempit dengan memasukkan hutan adat dalam kendali negara penuh. Padahal dari berbagai riset menunjukkan pengelolaan hutan oleh masyarakat adat lebih lestari(sustainable) dibanding dengan pengelolaan hutan skala besar, ini dikarenakan ketergantungan masyarakat dengan hutan sangat tinggi, keberlangsungan masyarakat sangat dipengaruhi oleh keberadaan hutan sehingga masyarakat dengan baik menjaga hutannya, sedangkan pengusaha hutan skala besar lebih cenderung tergantung dengan cost/keuntungan secara ekonomi sehingga faktor lingkungan dan keberadaan hutan kurang diperhatikan (proporsinya lebih sedikit dibanding faktor ekonomi). 2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan Pasal-Pasal yang Terkait dengan Hutan Adat : 2.1 Pasal 1 ayat 6 “Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.” Bahasan: Setelah Undang-Undang Pokok Kehutanan diganti dengan Undang-Undang Kehutanan, ternyata semangat pelemahan hutan adat tidaklah terhapuskan. Hal ini terlihat pada pasal diatas yang masih memasukkan hutan adat sebagai bagian dari hutan negara. Lebih jelas lagi disebutkan bahwa hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat, dalam kalimat tersebut berarti dapat diartikan bahwa negaralah yang menyerobot wilayah masyarakat hukum adat bukan seperti yang sekarang terdengung bahwa masyarakat hukum adat menyerobot/merambah kawasan hutan negara. Lagipula secara sejarah juga dapat kita ketahui, keberadaan masyarakat hukum adat itu lebih dulu dibanding keberadaan negara. 2.2 Pasal 5 “ (1) Hutan berdasarkan statusnya terdiri dari: a. hutan negara, dan b. hutan hak. (2) Hutan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dapat berupa hutan adat. (3) Pemerintah menetapkan status hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2); dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya. (4) Apabila dalam perkembangannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan tidak ada lagi, maka hak pengelolaan hutan adat kembali kepada Pemerintah.” Bahasan: Pada Pasal diatas juga terlihat jelas bentuk pelemahan status hutan adat dengan menyebut sepanjang kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya, sangat jelas bahwa secara tidak langsung negara tidak mempercayai eksistensi masyarakat adat yang dianggapnya masyarakat adat ini tidak akan dapat beradaptasi sehingga lama kelamaan akan hilang/tiada dan tidak diakui. Dilanjutkan lagi berikutnya, hutan adat ini dianggap oleh negara hampir seperti kegiatan pinjam pakai kawasan hutan yang apabila telah selesai pemakaiannya akan kembali kepada negara yang seolah-olah akhirnya masyarakat ini harus memohon izin dulu ketika akan memanfaatkan hutannya kepada negara sebagai “pemilik” baru. Dalam konteks ini, siapa pemerintah itupun tidak jelas gamblang disebutkan dalam Undang-Undang ini. 2.3 Pasal 67 (1) Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berhak: a. melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan; b. melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang; dan c. mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya. (2) Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah. (3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Bahasan: Cukup miris lagi pada pasal ini, ketidakjelasan sangat tampak sebagai bentuk pelemahan hutan adat. Saat disebutkan bahwa pengakuan masyarakat adat oleh negara tidak cukup de facto tapi juga de jure ternyata yang sebelumnya disebutkan pengakuan de jure itu oleh pemerintah daerah ternyata pada ayat selanjutnya disebutkan bahwa lebih lanjutnya diatur oleh peraturan pemerintah, sehingga pengakuan ini menjadi tidak mutlak oleh peraturan daerah. Lebih parahnya lagi, sampai saat ini peraturan pemerintah tentang hutan adat belum juga ada, baru sebatas rancangan saja. Ini jelas pelemahan kepada hutan adat sangat nampak pada Undang-Undang Kehutanan. 3. Peraturan Menteri Kehutanan Indonesia Nomor P. 49/ Menhut-II/ 2011 Tentang Rencana Kehutanan Tingkat Nasional Tahun 2011-2030 Bagian yang dikritisi : 3.1 Bab 4 Bagian 4.4. Kawasan untuk Pengusahaan Hutan Skala Besar dan Skala Kecil “Dari hasil analisis spasial dan skenario rasionalisasi kawasan hutan, sampai dengan tahun 2030 terdapat lebih kurang 43,6 juta hektar dialokasikan untuk pengusahaan hutan skala besar (IUPHHK-HA/HT/RE) dan 5,6 juta hektar untuk pengusahaan skala kecil (HTR,HKm dan HD). Dari luasan tersebut, sampai dengan awal tahun 2011, kawasan hutan yang telah diberikan izin pemanfaatan untuk pengusahaan skala besar yaitu seluas 34,47 juta hektar dan pengusahaan skala kecil seluas 0,67 juta hektar, sehingga masih terdapat 9,1 huta hektar kawasan yang dapat dialokasikan untuk pengusahaan skala besar dan 4,9 juta hektar untuk pengusahaan skala kecil. Bahasan: Harapan masyarakat adat yang telah menanti sekian lama dalam “penganaktirian” untuk memperoleh kepastian status hutan adat sebagai hutan milik masyarakat adat pupus sudah. Munculnya P.49/Menhut-II/2011 tentang Rencana Kehutanan Tingkat Nasional Tahun 2011-2030 ternyata sama sekali tidak ada pengalokasian kawasan hutan untuk hutan adat, hanya pengusahaan hutan skala besar (IUPHHK-HA/HT/RE) dan pengusahaan hutan skala kecil (HTR, HKm, dan HD) saja yang mendapat pengalokasian sedang hutan adat sama sekali tidak ada alias nihil. Hal ini menunjukkan, hutan adat secara perlahan telah dilemahkan secara pelan-pelan oleh peraturan perundangan/kebijakan kehutanan Indonesia. Hal penting yang dilupakan dalam konteks ini adalah bentuk pengelolaan hutan oleh masyarakat adat sangat arif dan lestari karena mereka mengelola hutan tersebut karena hutan sebagai sumber penghidupan mereka jadi mau tidak mau hutan tersebut harus ada, sedangkan pengelolaan hutan melalui pengusahaan skala besar justru lebih merusak karena faktor ekonomi/keuntungan financial yang mereka kejar, walau dibarengi dengan ilmu silvikulture yang baik namun tak ada rasa memiliki terhadap hutan tersebut, apalah artinya, tetap saja akan rusak. KESIMPULAN Berdasar analisis yang dilakukan terhadap Undang-Undang nomor 5 tahun 1967 tentang Pokok Kehutanan (UUPK), Undang-Undang nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan (UUK) dan Peraturan Menteri Kehutanan nomor P.49/ Menhut-II/ 2011 tentang Rencana Kehutanan Tingkat Nasional (RKTN) tahun 2011-2030, ketiganya mengindikasikan adanya pelemahan terhadap keberadaan hutan adat, mulai dari pemasukan hutan adat kedalam hutan negara, keraguan negara terhadap eksistensi masyarakat adat, pembukaan akses terhadap pengusahaan hutan skala besar dan penyulitan akses terhadap hutan adat, perolehan pengakuan yang tidak jelas mekanismenya, hingga tidak disinggungnya hutan adat dalam rencana kehutanan tingkat nasional tahun 2011-2030 adalah bentuk pelemahan posisi hutan adat di Indonesia. REKOMENDASI a. Status hutan adat harus jelas dan diakui sebagai milik masyarakat adat. b. Percepatan pengesahan Peraturan Pemerintah tentang Hutan Adat yang membela hak-hak masyarakat adat. c. Pengalokasian kawasan untuk pengembangan hutan adat yang terbukti lebih lestari dari pengusahaan hutan skala besar. d. Penghormatan terhadap masyarakat adat harus ditegakkan
sumber : http://riset.sylvaindonesia.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar